Ayyip Yip's

Ayyip Yip's

hello

Kamis, 09 Oktober 2014

Cerpen My Raibow



Hallo ketemu lagi sama admin di kesempatan kali ini admin ingin memberikan sesuatu yang bermanfaat untuk blog ini hehe... ^^
ya kali ini admin mau share Cerpen nih,,, Bukan ciptaan admin sendiri sih ini ciptaan temen admin dan ternyata bagus ^^ yaudah selamat membaca ya.... ^^






My Rainbow

Derap kaki seorang bocah diteras rumah sederhana itu jelas terdengar, bahkan suara itu lebih mirip seperti sebuah hentakan. Saat tiba ditepi teras bocah itu langsung mendudukan dirinya tanpa ragu.

Angin segar yang berasal dari pepohonan sekitar rumahnya itu menambah kesejukan bocah berparas oriental tersebut. Perlahan tapi pasti bocah tersebut menutup matanya, menghirup oksigen sehat itu dengan dalam sambil bergumam “terimaksih Tuhan”, gumaman yang diajarkan bunda. Ya, itu adalah kata-kata yang selalu bunda ajarkan, katanya apapun bentuknya yang kita dapatkan dan kita rasakan selama Tuhan masih memberi kita kesempatan untuk bernapas, kita harus selalu menyempatkan diri untuk berkata terimakasih kepada Tuhan.

“Seperti biasa bunda selalu hafal dimana tempat anak bunda berada pada sore hari seperti hari ini”, indra pendengaran lay menangkap suara yang begitu familiar untuknya. Bunda. Lay tersenyum teduh saat tangan hangat bunda mengalung lembut dilehernya.

“Tak ada aktivitas senyaman ini bunda, setidaknya dengan mencoba meresapi udara disini, aku bisa lebih mengerti mengapa Tuhan memberikan perbedaan kecil antara aku dan manusia lainnya, termasuk bunda.

Air muka bunda tampak berubah, seperti mengerti arah pembicaran anaknya, Lay. Bunda ingin membuka suaranya, tetapi...
“Lihatlah nda, bahkan tak ada beda sebelum dan sesudah aku menutup mata. Gelap.” Lay tersenyum, miris.

Bunda tersenyum getir, air matanya menyeruak akan keluar, ia membalikkan badan lalu mengapus air yang mengalir dipipinya tanpa memikirkan fakta bahwa tanpa ia membalikkan badan lay takkan melihat air matanya.

“Bunda fikir anak bunda yang tampan ini sudah bisa berfikir dewasa. Coba bunda jelaskan sekali yaa... Pangeran kecil bunda, lay tak perlu mempunyai indra penglihatan atau yang sering kita sebut dengan mata untuk dapat menikmati hasil karya Tuhan yang indah ini, lay bisa menikmatinya dengan cara merasakannya melalui indra peraba, seperti saat lay merasakan angin sejuk yang menerpa kulit lay seperti saat ini.” Bunda tersenyum, puas –mungkin- karena dirasanya lay sudah lebih tenang dan bisa mengerti penjelasan bunda.

“Dan juga bisa dirasakan disini ‘kan bunda” lay tersenyum sambil menunjuk letak hatinya lalu berpindah keletak hati bunda.

Bunda membalas senyum lay sambil menahan tangisnya, lagi.
Ia selalu merasa sedih setiap kali lay menyinggung tentang penglihatan. Bunda dengan sabar selalu mencoba untuk memberikan penjelasan kepada sang anak yang setiap seminggu sekali selalu menyinggung hal yang sama ditempat dan waktu yang sama yang pula.

Bukan hal yang mudah bagi bunda untuk memberikan penjelasan kepada anaknya mengapa dunianya, -pagi dan malam- terasa sama. Dengan hanya diliputi satu warna. Hitam.

Sulit bagi bunda apalagi bagi lay, bocah berumur 13 tahun yang mengidap kebutaan saat umur 6 tahun, awal ia merasakan bangku sekolah dasar. Tepat saat itu ayahnya sedang terburu-buru mengantar lay dihari pertama ia masuk sekolah. Ayah dengan senyum khasnya menggendong dan mendudukkan lay di jok motor miliknya. Senyum terakhir ayah, sekaligus senyum terakhir yang dapat lay lihat sebelum dunianya berubah menjadi hitam.

Walaupun kejadian itu sudah berlangsung tujuh tahun yang lalu, luka yang lay rasakan belum sepenuhnya kering sampai sekarang, atau bahkan luka itu takkan pernah kering untuk selama lamanya. Entahlah.
Mungkin karena luka itu Tuhan berikan kepada sosok malaikat kecil yang belum mengerti apa-apa.

Yang bunda ingat saat itu lay hanya menggumamkan kata ayah dan gelap. Kata-kata yang begitu mengiris hati bunda.

“Bunda hujan.” Lay menyenggol lengan bunda mengisyaratkan hujan turun.
Bunda menuntun lay memasuki rumah ketika awan yang tadinya cerah berubah menghitam. Mendung. Seperti mengerti perasaan hati bunda dan lay awan itu kini mulai meneteskan titik demi titk air miliknya.

Saat-saat hujan seperti ini adalah saat yang selalu ditunggu lay. Karena pada sore hari seperti ini akhir dari tangisan awan akan membentuk sebuah lukisan karya Tuhan yang sering kita sebut dengan pelangi.

Bunda bilang pelangi adalah lukisan indah Tuhan yang berbentuk lengkungan dengan bermacam warna, walau lay tak tahu bagaimana wujud dan seperti apa warna itu, lay hanya meyakini satu hal bahwa warna pelangi pasti lebih indah dibanding  warna yang setiap hari mengisi hidupnya.

“Aku pasti akan melihat pelangi suatu hari nanti.” Bunda menengok saat mendengar lay mengucap janji. Lalu tersenyum.

                                                               ***

“Lay, sedang apa kau disini?” Seorang gadis menghampiri lay yang sedang duduk dibangku belakang sekolah  untuk menikmati suasana sejuk disini. Ya, tak dirumah tak disekolah lay selalu suka menyendiri dan menikmati angin sejuk.

Tangan lay dengan lincah mambaca (meraba) huruf-huruf timbul pada buku yang ia pegang.
“Membaca novel, lagi?” Gadis bernama Nana tersebut menaikkan satu alisnya, lalu menormalkannya kembali saat lay menanggukkan kepalanya ringan.

“Saat berbicara dengan seseorang sebaiknya tataplah orang tersebut.” Nana mengerucutkan bibir atasnya tanda sebal.

“Aku tak bisa menatap seseorang, bahkan dunia sekalipun.” Balas lay sedikit dingin, ia tak mengerti mengapa gadis disampingnya ini mencoba memancing emosinya dengan hal yang sudah jelas dia ketahui.

Nana terhenyak, hatinya merasa tak enak. Ya Tuhan apa yang telah kukatakan? Batinnya.

“Maaf lay, aku tak bermaksud..” nana menggantungkan kata-katanya atau lebih tepatnya ia sedang memikirkan kata apa yang selanjutnya akan ia katakan untuk menjelaskan maksud perkataannya kepada sang sahabat.

“Ya, aku mengerti. Tak usah berusaha menjelaskan sesuatu yang malah akan membuat diriku merasa lebih rendah nana.” Lay berbicara tanpa menghentikan gerakan tangannya pada novel berhuruf timbul itu.

“Ehmm.. baiklah. Oh iya aku kemari ingin menanyakan bagaimana novelmu apa sudah selesai kau tulis?” kini nana mulai antusias.

“Aku tak tahu, akhir-akhir ini mood-ku sedang tidak baik. ditambah dengan mereka yang selalu tidak percaya dengan kemampuan menulisku.” Kali ini lay mengangkat kepalanya, mentap lurus kedepan dengan nanar.

“Kenapa dari tadi perkataanku selalu salah dan membuatmu merasa buruk,” Nana menundukkan kepalanya
“Tapi kau tak usah khawatir lay, masih banyak orang yang suka dan percaya dengan kemampuan menulismu.” Nana mengangkat kepala berusaha memberi dukungan kepada sahabatnya, lay. “Lagipula mereka yang meremehkanmu belum tentu dapat menulis novel sebagus dirimu!” cengir nana diakhir kalimatnya, cengiran yang tak dapat lay lihat tapi setidaknya lay dapat merasakan itu.

“Aku akan berusaha, terimakasih nana.” Lay memberikan senyum terbaiknya untuk nana, sahabatnya.
Nana adalah satu-satunya sahabat lay, dia adalah orang terpenting dihidupnya setelah bunda. Nana adalah gadis normal, tidak seperti lay yang tuna netra. Ya, karena lay memang sekolah di sekolah normal.

Dulu saat Sekolah Dasar bunda sempat menyekolahkan lay di Sekolah Luar Biasa, tapi saat masuk kelas 4 lay ingin mencoba sekolah biasa dan ternyata lebih gampang untuk lay dalam menangkap apa yang diajarkan oleh guru walau dia memakai buku yang sedikit berbeda dengan murid lainnya.

Lay selalu berusaha mengimbangi apa yang diajarkan guru sekolah normal, dia tak pernah ada masalah dengan itu. Masalahnya malah terjadi pada teman-temannya disekolah, yang selalu memandang rendah dan tak mau bermain dengan lay.

Sampai ia masuk sekolah menengah, ia bertemu dengan nana, sahabatnya sekarang ini. Nana adalah gadis yang sangat baik bagi lay, ia selalu menolong lay saat ia di-bully disekolah.

                                                                   ***

1 tahun kemudian, akhir sekolah menengah
Bunda berjalan gontai memasuki rumah, ia kelelahan setelah seharian bekerja. Tangannya meraba-raba tembok tanda ia mulai kehilangan keseimbangan.
Tepat saat diruang tamu, bunda memuntahkan sesuatu yang kental berwarna merah pekat. Bunda menatap sedih muntahannya.

“Lay bahkan masih membutuhkan diriku Tuhan, tapi ia juga membutuhkan..” Bunda limbung merosot kebawah menarik taplak meja yang menjadi pegangannya hingga vas yang ada diatas meja pun ikut terjatuh bersamaan dengan bunda.
Bunda hanya terjatuh, tak pingsan. Badannya hanya tak kuat menahan bebannya sendiri.

Lay pulang tak lama setelah bunda terjatuh, lay tak tahu apa yang terjadi, tapi saat berjalan kakinya menyentuh sesuatu. Lay merangkak mendekati sesuatu itu, dan ternyata itu adalah bunda.

Lay panik, ia berbicara terus menerus bunda kenapa, apa yang terjadi, bunda sakit, dan lain-lain.

“Bunda tak apa sayang, tolong ambilkan amplop didalam lemari bunda.” Bunda berusaha menenangkan anaknya
Lay bergegas kekamar bunda, tak mempedulikan kakinya yang tersandung benda-benda keras. Lay menemukan amplopnya lalu memberikannya kepada bunda.
“Nanti tolong berikan ini kepada nana dan minta tolong kepadanya untuk memberikan ini kepada dokter ya, sayang.”
“Memang bunda kenapa? Apa bunda sakit?” lay mulai panik, lagi.

Tak ada jawaban, lay semakin panik. Lay mencoba meraba wajah bundanya, mencoba mengetahui apakah mata bunda masih terbuka atau tidak.
Mata bunda tertutup.

                                                                  ***

Skip 4 tahun kemudian
“Novel ini adalah novel pertama yang saya terbitkan, saya mulai menyukai menulis saat umur 12 tahun. Tapi saya baru bisa menerbitkan tulisan saya  saat saya berumur 18 tahun, sekarang ini. Novel ini saya dedikasikan kepada orang-orang yang saya sayangi. Untuk Ayah dan Bunda yang mungkin sedang tersenyum melihat saya di Surga indah Tuhan. Untuk sahabatku nana, terimakasih selalu ada disampingku 5 tahun terakhir ini, membantuku menyelesaikan tulisan yang sangat berharga ini, mendukung dan selalu memberi motivasi kepadaku saat bunda dengan sangat mendadak berkata merindukan ayah.” Lay berkata panjang lebar saat peluncuran novel perdananya.

Tak ada raut sedih yang terpancar diwajah lay saat ini, sedih memang, tapi ia berusaha kuat. Berusaha menunjukkan kepada dunia bahwa ia sekarang bukan lagi pria yang cengeng. Bahkan ia selalu menunjukkan senyum manis miliknya, walau ia menceritakan hal yang sedih menurut pendengarnya.

Nana tersenyum saat lay mengucapkan terimakasih kepadanya, walau tak langsung. Nana tersenyum menatap lay, lay membalas senyumnya manis.
Setelah peluncuran novel lay mengajak nana pergi kesuatu tempat, lay mengajak nana kebukit dekat pantai dipulau jeju.

“sore seperti ini adalah saat-saat yang aku suka, apalagi jika hujan,” lay mengembangkan senyumnya.
“Aku juga tahu, kau selalu berkata seperti itu lay.” Nana menatap lay yang sedang memejamkan matanya.
“hujan,” bisik lay sambil merentangkan tangannya.
Entah kebetulan atau apa hujan turun setelahnya.
Nana menarik lay yang sedang menikmati rintikan air yang dikeluarkan oleh awan hitam itu. Ia tak habis pikir kenapa lay begitu menyukai hujan? Padahal kebanyakan orang menghindarinya.
“Sebentar lagi pasti akan ada pelangi yang muncul,” seru lay saat nana mengusap-usap tangannya kedinginan.
Nana hanya menengok tak membalas, “dan benar, pelangi muncul nana.” Senyum lay semakin lebar.
“Aku selalu tahu dan percaya bahwa pelangi itu indah, dan ternyata apa yang bunda katakan memang benar.”
“Bahkan lebih indah dari yang bundamu katakan kan lay?” kini nana mulai angkat bicara
“Ya, bahkan lebih indah. Karna aku sudah bisa melihatnya sendiri. Tanpa harus ada yang menjelaskan kepadaku. Apalagi karna mata bunda yang sangat indah ini, semua yang ku lihat selalu jauh lebih indah dari apa yang orang lihat.”
“Aku merindukan bunda na, aku rindu saat ia selalu menyemangatiku. Aku harap bunda dapat melihatku dengan bangga disana.” Lay berkaca-kaca
“pasti, bunda pasti bangga kepada anaknya yang dapat melakukan sesuatu dengan baik, anak yang tak pernah menyerah untuk mencapai cita-cita walau dengan kekurangannya.” Nana menepuk bahu lay bangga,
“aku saja bangga menjadi sahabatmu.” Keduanya tersenyum, lalu menatap pelangi secara bersamaan.
Pelangi itu lambat laun mulai menghilang dari pandangan lay dan nana. Lukisan warna-warni Tuhan kembali ketempatnya, meninggalkan dua orang yang tengah hanyut mensyukuri karya dan nikmat Tuhan kepada mereka. Semoga warna kehidupanku selalu dapat seperti pelangi. Lay membatin.

“Terimakasih Tuhan.”