Hallo ketemu lagi sama admin di kesempatan kali ini admin ingin memberikan sesuatu yang bermanfaat untuk blog ini hehe... ^^
ya kali ini admin mau share Cerpen nih,,, Bukan ciptaan admin sendiri sih ini ciptaan temen admin dan ternyata bagus ^^ yaudah selamat membaca ya.... ^^
My Rainbow
Derap kaki seorang bocah diteras
rumah sederhana itu jelas terdengar, bahkan suara itu lebih mirip seperti
sebuah hentakan. Saat tiba ditepi teras bocah itu langsung mendudukan dirinya
tanpa ragu.
Angin segar yang berasal dari
pepohonan sekitar rumahnya itu menambah kesejukan bocah berparas oriental
tersebut. Perlahan tapi pasti bocah tersebut menutup matanya, menghirup oksigen
sehat itu dengan dalam sambil bergumam “terimaksih Tuhan”, gumaman yang
diajarkan bunda. Ya, itu adalah kata-kata yang selalu bunda ajarkan, katanya
apapun bentuknya yang kita dapatkan dan kita rasakan selama Tuhan masih memberi
kita kesempatan untuk bernapas, kita harus selalu menyempatkan diri untuk
berkata terimakasih kepada Tuhan.
“Seperti biasa bunda selalu hafal
dimana tempat anak bunda berada pada sore hari seperti hari ini”, indra
pendengaran lay menangkap suara yang begitu familiar untuknya. Bunda. Lay
tersenyum teduh saat tangan hangat bunda mengalung lembut dilehernya.
“Tak ada aktivitas senyaman ini
bunda, setidaknya dengan mencoba meresapi udara disini, aku bisa lebih mengerti
mengapa Tuhan memberikan perbedaan kecil antara aku dan manusia lainnya,
termasuk bunda.”
Air muka bunda tampak berubah,
seperti mengerti arah pembicaran anaknya, Lay. Bunda ingin membuka suaranya,
tetapi...
“Lihatlah nda, bahkan tak ada beda
sebelum dan sesudah aku menutup mata. Gelap.” Lay tersenyum, miris.
Bunda tersenyum getir, air matanya
menyeruak akan keluar, ia membalikkan badan lalu mengapus air yang mengalir
dipipinya tanpa memikirkan fakta bahwa tanpa ia membalikkan badan lay takkan
melihat air matanya.
“Bunda fikir anak bunda yang tampan
ini sudah bisa berfikir dewasa. Coba bunda jelaskan sekali yaa... Pangeran
kecil bunda, lay tak perlu mempunyai indra penglihatan atau yang sering kita
sebut dengan mata untuk dapat menikmati hasil karya Tuhan yang indah ini, lay
bisa menikmatinya dengan cara merasakannya melalui indra peraba, seperti saat
lay merasakan angin sejuk yang menerpa kulit lay seperti saat ini.” Bunda
tersenyum, puas –mungkin- karena dirasanya lay sudah lebih tenang dan bisa
mengerti penjelasan bunda.
“Dan juga bisa dirasakan disini ‘kan
bunda” lay tersenyum sambil menunjuk letak hatinya lalu berpindah keletak hati
bunda.
Bunda membalas senyum lay sambil
menahan tangisnya, lagi.
Ia selalu merasa sedih setiap kali
lay menyinggung tentang penglihatan. Bunda dengan sabar selalu mencoba untuk
memberikan penjelasan kepada sang anak yang setiap seminggu sekali selalu
menyinggung hal yang sama ditempat dan waktu yang sama yang pula.
Bukan hal yang mudah bagi bunda untuk
memberikan penjelasan kepada anaknya mengapa dunianya, -pagi dan malam- terasa
sama. Dengan hanya diliputi satu warna. Hitam.
Sulit bagi bunda apalagi bagi lay,
bocah berumur 13 tahun yang mengidap kebutaan saat umur 6 tahun, awal ia
merasakan bangku sekolah dasar. Tepat saat itu ayahnya sedang terburu-buru
mengantar lay dihari pertama ia masuk sekolah. Ayah dengan senyum khasnya
menggendong dan mendudukkan lay di jok motor miliknya. Senyum terakhir ayah,
sekaligus senyum terakhir yang dapat lay lihat sebelum dunianya berubah menjadi
hitam.
Walaupun kejadian itu sudah
berlangsung tujuh tahun yang lalu, luka yang lay rasakan belum sepenuhnya kering
sampai sekarang, atau bahkan luka itu takkan pernah kering untuk selama
lamanya. Entahlah.
Mungkin karena luka itu Tuhan berikan
kepada sosok malaikat kecil yang belum mengerti apa-apa.
Yang bunda ingat saat itu lay hanya
menggumamkan kata ayah dan gelap. Kata-kata yang begitu mengiris hati bunda.
“Bunda hujan.” Lay menyenggol lengan
bunda mengisyaratkan hujan turun.
Bunda menuntun lay memasuki rumah
ketika awan yang tadinya cerah berubah menghitam. Mendung. Seperti mengerti
perasaan hati bunda dan lay awan itu kini mulai meneteskan titik demi titk air
miliknya.
Saat-saat hujan seperti ini adalah
saat yang selalu ditunggu lay. Karena pada sore hari seperti ini akhir dari
tangisan awan akan membentuk sebuah lukisan karya Tuhan yang sering kita sebut
dengan pelangi.
Bunda bilang pelangi adalah lukisan
indah Tuhan yang berbentuk lengkungan dengan bermacam warna, walau lay tak tahu
bagaimana wujud dan seperti apa warna itu, lay hanya meyakini satu hal bahwa
warna pelangi pasti lebih indah dibanding
warna yang setiap hari mengisi hidupnya.
“Aku pasti akan melihat pelangi suatu
hari nanti.” Bunda menengok saat mendengar lay mengucap janji. Lalu tersenyum.
***
“Lay, sedang apa kau disini?” Seorang
gadis menghampiri lay yang sedang duduk dibangku belakang sekolah untuk menikmati suasana sejuk disini. Ya, tak
dirumah tak disekolah lay selalu suka menyendiri dan menikmati angin sejuk.
Tangan lay dengan lincah mambaca
(meraba) huruf-huruf timbul pada buku yang ia pegang.
“Membaca novel, lagi?” Gadis bernama
Nana tersebut menaikkan satu alisnya, lalu menormalkannya kembali saat lay
menanggukkan kepalanya ringan.
“Saat berbicara dengan seseorang
sebaiknya tataplah orang tersebut.” Nana mengerucutkan bibir atasnya tanda
sebal.
“Aku tak bisa menatap seseorang,
bahkan dunia sekalipun.” Balas lay sedikit dingin, ia tak mengerti mengapa
gadis disampingnya ini mencoba memancing emosinya dengan hal yang sudah jelas
dia ketahui.
Nana terhenyak, hatinya merasa tak
enak. Ya Tuhan apa yang telah kukatakan? Batinnya.
“Maaf lay, aku tak bermaksud..” nana
menggantungkan kata-katanya atau lebih tepatnya ia sedang memikirkan kata apa
yang selanjutnya akan ia katakan untuk menjelaskan maksud perkataannya kepada
sang sahabat.
“Ya, aku mengerti. Tak usah berusaha
menjelaskan sesuatu yang malah akan membuat diriku merasa lebih rendah nana.”
Lay berbicara tanpa menghentikan gerakan tangannya pada novel berhuruf timbul
itu.
“Ehmm.. baiklah. Oh iya aku kemari
ingin menanyakan bagaimana novelmu apa sudah selesai kau tulis?” kini nana
mulai antusias.
“Aku tak tahu, akhir-akhir ini mood-ku sedang tidak baik. ditambah
dengan mereka yang selalu tidak percaya dengan kemampuan menulisku.” Kali ini
lay mengangkat kepalanya, mentap lurus kedepan dengan nanar.
“Kenapa dari tadi perkataanku selalu
salah dan membuatmu merasa buruk,” Nana menundukkan kepalanya
“Tapi kau tak usah khawatir lay,
masih banyak orang yang suka dan percaya dengan kemampuan menulismu.” Nana
mengangkat kepala berusaha memberi dukungan kepada sahabatnya, lay. “Lagipula
mereka yang meremehkanmu belum tentu dapat menulis novel sebagus dirimu!”
cengir nana diakhir kalimatnya, cengiran yang tak dapat lay lihat tapi setidaknya
lay dapat merasakan itu.
“Aku akan berusaha, terimakasih
nana.” Lay memberikan senyum terbaiknya untuk nana, sahabatnya.
Nana adalah satu-satunya sahabat lay,
dia adalah orang terpenting dihidupnya setelah bunda. Nana adalah gadis normal,
tidak seperti lay yang tuna netra. Ya, karena lay memang sekolah di sekolah
normal.
Dulu saat Sekolah Dasar bunda sempat
menyekolahkan lay di Sekolah Luar Biasa,
tapi saat masuk kelas 4 lay ingin mencoba sekolah biasa dan ternyata lebih
gampang untuk lay dalam menangkap apa yang diajarkan oleh guru walau dia
memakai buku yang sedikit berbeda dengan murid lainnya.
Lay selalu berusaha mengimbangi apa
yang diajarkan guru sekolah normal, dia tak pernah ada masalah dengan itu.
Masalahnya malah terjadi pada teman-temannya disekolah, yang selalu memandang
rendah dan tak mau bermain dengan lay.
Sampai ia masuk sekolah menengah, ia
bertemu dengan nana, sahabatnya sekarang ini. Nana adalah gadis yang sangat
baik bagi lay, ia selalu menolong lay saat ia di-bully disekolah.
***
1 tahun kemudian, akhir sekolah menengah
Bunda berjalan gontai memasuki rumah,
ia kelelahan setelah seharian bekerja. Tangannya meraba-raba tembok tanda ia
mulai kehilangan keseimbangan.
Tepat saat diruang tamu, bunda
memuntahkan sesuatu yang kental berwarna merah pekat. Bunda menatap sedih
muntahannya.
“Lay bahkan masih membutuhkan diriku
Tuhan, tapi ia juga membutuhkan..” Bunda limbung merosot kebawah menarik taplak
meja yang menjadi pegangannya hingga vas yang ada diatas meja pun ikut terjatuh
bersamaan dengan bunda.
Bunda hanya terjatuh, tak pingsan.
Badannya hanya tak kuat menahan bebannya sendiri.
Lay pulang tak lama setelah bunda
terjatuh, lay tak tahu apa yang terjadi, tapi saat berjalan kakinya menyentuh
sesuatu. Lay merangkak mendekati sesuatu itu, dan ternyata itu adalah bunda.
Lay panik, ia berbicara terus menerus
bunda kenapa, apa yang terjadi, bunda sakit, dan lain-lain.
“Bunda tak apa sayang, tolong
ambilkan amplop didalam lemari bunda.” Bunda berusaha menenangkan anaknya
Lay bergegas kekamar bunda, tak
mempedulikan kakinya yang tersandung benda-benda keras. Lay menemukan amplopnya
lalu memberikannya kepada bunda.
“Nanti tolong berikan ini kepada nana
dan minta tolong kepadanya untuk memberikan ini kepada dokter ya, sayang.”
“Memang bunda kenapa? Apa bunda
sakit?” lay mulai panik, lagi.
Tak ada jawaban, lay semakin panik. Lay
mencoba meraba wajah bundanya, mencoba mengetahui apakah mata bunda masih
terbuka atau tidak.
Mata bunda tertutup.
***
Skip 4 tahun kemudian
“Novel ini adalah novel pertama yang
saya terbitkan, saya mulai menyukai menulis saat umur 12 tahun. Tapi saya baru
bisa menerbitkan tulisan saya saat saya
berumur 18 tahun, sekarang ini. Novel ini saya dedikasikan kepada orang-orang
yang saya sayangi. Untuk Ayah dan Bunda yang mungkin sedang tersenyum melihat
saya di Surga indah Tuhan. Untuk sahabatku nana, terimakasih selalu ada
disampingku 5 tahun terakhir ini, membantuku menyelesaikan tulisan yang sangat
berharga ini, mendukung dan selalu memberi motivasi kepadaku saat bunda dengan
sangat mendadak berkata merindukan ayah.” Lay berkata panjang lebar saat peluncuran
novel perdananya.
Tak ada raut sedih yang terpancar
diwajah lay saat ini, sedih memang, tapi ia berusaha kuat. Berusaha menunjukkan
kepada dunia bahwa ia sekarang bukan lagi pria yang cengeng. Bahkan ia selalu
menunjukkan senyum manis miliknya, walau ia menceritakan hal yang sedih menurut
pendengarnya.
Nana tersenyum saat lay mengucapkan
terimakasih kepadanya, walau tak langsung. Nana tersenyum menatap lay, lay
membalas senyumnya manis.
Setelah peluncuran novel lay mengajak
nana pergi kesuatu tempat, lay mengajak nana kebukit dekat pantai dipulau jeju.
“sore seperti ini adalah saat-saat
yang aku suka, apalagi jika hujan,” lay mengembangkan senyumnya.
“Aku juga tahu, kau selalu berkata
seperti itu lay.” Nana menatap lay yang sedang memejamkan matanya.
“hujan,” bisik lay sambil merentangkan
tangannya.
Entah kebetulan atau apa hujan turun
setelahnya.
Nana menarik lay yang sedang
menikmati rintikan air yang dikeluarkan oleh awan hitam itu. Ia tak habis pikir
kenapa lay begitu menyukai hujan? Padahal kebanyakan orang menghindarinya.
“Sebentar lagi pasti akan ada pelangi
yang muncul,” seru lay saat nana mengusap-usap tangannya kedinginan.
Nana hanya menengok tak membalas,
“dan benar, pelangi muncul nana.” Senyum lay semakin lebar.
“Aku selalu tahu dan percaya bahwa
pelangi itu indah, dan ternyata apa yang bunda katakan memang benar.”
“Bahkan lebih indah dari yang bundamu
katakan kan lay?” kini nana mulai angkat bicara
“Ya, bahkan lebih indah. Karna aku
sudah bisa melihatnya sendiri. Tanpa harus ada yang menjelaskan kepadaku.
Apalagi karna mata bunda yang sangat indah ini, semua yang ku lihat selalu jauh
lebih indah dari apa yang orang lihat.”
“Aku merindukan bunda na, aku rindu
saat ia selalu menyemangatiku. Aku harap bunda dapat melihatku dengan bangga
disana.” Lay berkaca-kaca
“pasti, bunda pasti bangga kepada
anaknya yang dapat melakukan sesuatu dengan baik, anak yang tak pernah menyerah
untuk mencapai cita-cita walau dengan kekurangannya.” Nana menepuk bahu lay
bangga,
“aku saja bangga menjadi sahabatmu.”
Keduanya tersenyum, lalu menatap pelangi secara bersamaan.
Pelangi itu lambat laun mulai
menghilang dari pandangan lay dan nana. Lukisan warna-warni Tuhan kembali
ketempatnya, meninggalkan dua orang yang tengah hanyut mensyukuri karya dan
nikmat Tuhan kepada mereka. Semoga warna kehidupanku selalu dapat seperti
pelangi. Lay membatin.
“Terimakasih Tuhan.”